Setiap orang pastinya pernah berada pada fase hubungan romantis apalagi pada fase remaja tentunya itu tidak akan lepas dari kisah asmara anak remaja yang biasa dikatakan sebagai “cinta monyet”. Banyak yang menyebut bahwa cinta pada masa remaja adalah cinta yang paling menyenangkan karena pada masa itu kita tidak tidak hanya merasakan ketertarikan, tetapi juga pengalaman emosional yang mendebarkan dan membuat kita berada pada fase butterflies, kupu- kupu yang mengelitik perut, dan euphoria yang meletup-letup. Tapi banyak remaja justru terjebak dalam pola hubungan yang tidak sehat, salah satunya love-bombing. Tapi apakah love-bombing itu benar adanya atau hanya tren? Dan apa sebenarnya yang dimaksud love-bombing? Love-bombing merupakan definisi untuk seseorang yang membanjiri pasangannya dengan hadiah, ribuan kata kata manis,perhatian, dan kasih sayang yang intens di awal hubungan. Meskipun tampak manis, perilaku ini sering kali menjadi awal dari pola manipulasi yang bertujuan untuk mengendalikan dan juga proses biologis menciptakan pola ketergantungan melalui mekanisme reward dan regulasi emosi. Untuk memahami kenapa love-bombing terasa begitu memabukkan dan sulit dilepaskan, kita bisa melihatnya dari cara otak merespons perlakuan tersebut secara biologis. Aktivasi Sistem Reward (Dopamin) Pada hubungan awal biasanya pelaku love-bombing memberikan perhatian penuh, hangat, dan menjadi seseorang yang benar-benar kita inginkan sehingga kita merasa seakan-akan kita “istimewa”. Semua perlakuan manis itu membuat otak melepaskan dopamin, zat kimia yang memicu rasa senang dan nyaman. Karena itu, setiap pesan, pelukan, atau pujian dari pelaku terasa seperti “reward” bagi otak. Sehingga lambat laun, otak mulai mengaitkan pasangan sebagai sumber kebahagiaan, sehingga awal hubungan tampak begitu memabukkan, memikat dan sulit dilepaskan. Oksitosin dan Keterikatan Emosional Setelah pelaku membuat kita terbiasa oleh aktivasi sistem reward maka disaat pelaku memberi kehangatan emosional seperti pelukan, sentuhan fisik, kata-kata sayang, atau perhatian yang intens maka tubuh akan melepaskan hormon oksitosin (hormon yang menciptakan rasa dekat dan dipercaya). Hormon ini membuat korban merasa nyaman dan terikat secara alami. Walaupun hubungan mulai berubah tidak sehat, ikatan yang terbentuk dari hormon ini tetap membuat seseorang merasa sulit menjauh. Pola Reward Tidak Konsisten (Intermittent Reinforcement) Setelah korban terikat secara emosional disaat itu pelaku mulai berubah, yang biasanya hangat berubah menjadi dingin tanpa alasan atau sebab yang pasti. Perilaku tersebut menciptakan pola “hangat-dingin-hangat lagi” yang sangat membingungkan, tetapi justru membuat otak semakin terpikat. Karena perhatian itu datang secara tak terduga, otak terus berharap dan menantikan momen-momen manis yang dulunya ada. Pola seperti ini bekerja layaknya kecanduan tidak tahu kapan “reward” datang, tapi membuat kita tetap menunggu kehadiran pelaku. Peran Amigdala dan Sistem Stres Saat perilaku pelaku mulai mengontrol atau memanipulasi, bagian otak yang bertanggung jawab terhadap rasa takut dan kewaspadaan, yaitu amigdala, menjadi sangat aktif. Tubuh pun melepaskan kortisol (hormon stres). Stres yang berlangsung terus-menerus membuat seseorang mudah cemas, panik, takut ditinggalkan, atau merasa tak aman. Ironisnya, di tengah stres itu, otak tetap mencari rasa aman yang dulu diberikan pelaku, sehingga ikatan makin kuat meskipun hubungan menyakitkan dan toxic. Penurunan Fungsi Prefrontal Cortex Stres dan manipulasi membuat bagian otak yang mengatur logika, penilaian, dan pengambilan keputusan yakni prefrontal cortex menjadi kurang efektif bekerja. Inilah alasan korban sering merasa bingung, ragu, dan sulit berpikir jernih. Meskipun sadar hubungan itu toxic, otak tetap kesulitan mengambil keputusan untuk pergi karena telah terikat dan bergantung secara emosional. Akhirnya, seseorang bisa tetap bertahan yang membuat korban terlihat seperti “budak cinta” bukan karena hubungan itu baik, tetapi karena otaknya sudah terikat secara biologis.
Dapat disimpulkan bahwa love-bombing bukan hanya sekedar kasih sayang berlebihan, tapi strategi narsistik untuk merasa berharga, mengontrol pasangan, dan mengatasi kecemasan hubungan terutama terjadi pada orang dengan self-esteem rendah dan insecure attachment. Dampak dari love-bombing dapat bervariasi mulai dari perasaan bingung, kehilangan, dan bahkan dapat berupa gangguan kesehatan mental yang serius, seperti kecemasan, depresi, trauma emosional, bahkan keinginan untuk mengakhiri hidup.
.png)
1 day ago
7




















